Minggu, 06 Februari 2011

Renungan Sebuah Doa

Bapa Kami

Bapa kami yang ada di Surga
Dimuliakanlah namaMu
Datanglah kerajaanMu
Jadilah kehendakMU
 Di atas bumi seperti di dalam Surga
Berilah kami rejeki pada hari ini
Dan ampunilah kesalahan kami
Seperti kami pun mengampuni 
yang bersalah kepada kami
dan janganlah masukkan kami
ke dalam percobaan
tetapi bebaskanlah kami
dari yang jahat...

           Doa di atas adalah doa Bapa Kami. Saya yakin, setiap umat Kristiani pasti mengetahui doa itu. Doa itulah yang diajarkan Yesus kepada murid-muridNya. Menurut saya, doa ini sangat menyentuh. Dalam doa tersebut, terdapat pujian kepada Bapa, ada pengharapan, ada pula penyerahan diri manusia kepada Tuhan.

                Di tata acara misa di Gereja Katolik,doa ini biasa dinyanyikan setelah doa Syukur Agung. Ketika doa ini dinyanyikan, tangan saya akan menengadah, meminta berkat. Saya juga lihat, beberapa umat yang lain  saling bergandengan tangan. Entah kenapa, sore ini, saya terharu ketika menyanyikan lagu ini.Ada perasaan malu menjalari perasaan saya. Malu karena saya terlalu 'manusia' hingga perasaan dan pikiran saya lebih banyak dipenuhi dengan 'manusia' walaupun saya tau, kasih Tuhan selalu berlimpah pada saya.

               Saya memuliakan nama Tuhan, saya menguduskan nama Tuhan, tapi saya masih sering mempertanyakan : Di mana Tuhan ketika saya butuh pertolongan? Bagaimana saya tau di mana Tuhan hadir jika saya masih memelihara perasaan saya yang tak baik pada orang lain? Bagaimana saya tau kapan Tuhan akan datang, jika saya masih menutup diri dengan hal-hal yang membuat saya tak yakin bahwa Tuhan menemani saya?
              
               Saya berdoa jadilah kehendakMu, tapi saya tak sungguh-sungguh mengucapkannya. Dalam hati saya terselip sebuah penawaran. Menawar kehendak Tuhan, agar sesuai dengan kehendak saya.Saya juga memberikan 'janji' jika keinginan saya terpenuhi. Bukankah Tuhan sudah mengetahui lubuk hati saya yang sesungguhnya? Bukankah Tuhan dapat menilai ketulusan hati saya?

                Saya berdoa berilah rejeki hari ini, tapi saya tak pernah bersyukur atas rejeki hari ini. Bukankah Tuhan selalu memberikan saya rejeki agar saya tak kelaparan? Tapi saya masih merasa kurang. Benarlah teori ekonomi itu. Alat pemuas terbatas tapi keinginan manusia tak terbatas. Lagi- lagi, saya terjebak dengan pemikiran manusia.Saya, melihat ke atas, lupa dengan keadaan saya ketika di bawah. Rejeki saya tak pernah surut, Tuhan memberi saya kelimpahan, tapi saya selalu lupa berterimakasih atas rejeki itu. Lupa berterimakasih dengan selalu menghabiskan rejeki yang saya miliki dan tidak menggunakannya dengan baik.

            Saya berdoa, ampunilah kesalahan kami, seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami tapi saya melakukan kesalahan yang sama lagi. Setiap hari, berulang. lagi, saya terjebak dalam janji palsu yang saya buat sendiri. Tapi, saya selalu berani meminta ampunan. Saya tak tau, apakah Tuhan mengampuni saya. Memaafkan saya. Saya hanya membuat analogi seperti ini: saya belum bisa memaafkan kesalahan orang lain, saya belum bisa menyambut kembali orang yang membuat saya terluka, kenapa saya begitu egois meminta ampunan Tuhan? Saya pun tak boleh egois menuntut orang lain memaafkan ataupun menerima saya kembali

            Saya hanya melihat saya, tidak melihat orang lain. Saya hanya mengaku saya, menutup hati mengaku yang lain. Saya hanya dapat menuliskan tulisan ini, hanya mencerna dalam teori semata. Maafkanlah, saya...
                  
         

2 komentar:

  1. semoga doa ini akan selalu mengingatkan mbak Astrid..
    biar yang sudah berlalu, ya sudah..

    BalasHapus