Hari ini hari Senin. Hari yang sibuk bagi sebagian karyawan. Senin ini juga Senin yang agak sibuk untuk saya. Tapi di sela- sela ke ‘agak sibukan’ saya itu, saya masih sempat mengobrol dengan seorang teman di dunia maya. Obrolan saya hari ini sebenarnya lanjutan dari obrolan sebelumnya. Tentang Jakarta. Ya, ibukota ternyata bagi beberapa orang tidak bersahabat, menyeramkan dan kadang kejam. Untuk saya? Biasa saja.
Singkat cerita, teman saya ini berbagi cerita bahwa dia mulai stress dengan kemacetan ibukota. Siapa sih yang tidak mengeluh tentang kemacetan Jakarta yang akhir- akhir ini semakin menggila? Teman saya juga kurang menyukai udara Jakarta. Siapa sih yang tidak mengeluh tentang polusi dan hawa panas di Jakarta? Saya berani bertaruh, kalau tidak menuruti kebutuhan dapur dan perut, pendatang di Jakarta sudah ingin kembali pulang ke daerah asalnya.
Macet!
Sebelum saya pindah ke bekasi, saya kos di daerah Anggrek Nelly, Slipi, Jakarta Barat. Kantor saya dulu di kawasan Rasuna Said, tepat di seberang kedutaan Australia. Sebenarnya, jika jalanan lancar, saya hanya butuh 45 menit untuk sampai ke kantor. Tapi, saya butuh waktu 1,5 jam untuk menempuh perjalanan Rasuna Said ke Anggrek Nelly. Jangan bayangkan saya naik angkutan umum yang nyaman. Pertama, saya naik kopaja 66 dari seberang kantor untuk keluar dari kawasan kuningan. Berapa waktu tempuhnya ? Ya ! hampir 40 menit. Setelah itu saya naik 46 atau P6. Berapa waktu tempuhnya? hampir satu jam ! Biasanya saya terjebak macet di gatsu dan MPR. Dulu, saya mengumpat dalam hati ! DAMN! Mobil gede- gede isinya Cuma tuan sama sopirnya, lihat dunk saya, kena asap sana sini. Tapi, lama- kelamaan saya terbiasa dengan macet itu. Dengarkan music, siapkan kipas dan camilan. Beres ! Jadi, daripada mengeluh dan mengumpat kemacetan, lebih baik menikmatinya kan? Yakinlah, semakin menyumpahi macetnya, semakin frustasi Anda dibuatnya.
Polusi !
Alasan saya memilih kos di daerah Anggrek Nelly karena daerah tersebut masih memiliki paru- paru udara di daerahnya. Ya, saya masih merasakan duduk di taman, burung kecil yang berkicau di pagi hari, yang pasti sekeliling saya bukanlah gedung bertingkat. Tapi, begitu keluar dari kompleks perumahan, saya akan menutup hidung saya dengan saputangan handuk yang selalu saya bawa. Asap bis umum di Jakarta memang keterlaluan. Wajar, jika batuk dan pilek sering saya alami.
Dulu, saat saya melakukan tugas saya di daerah Jakarta Utara, saya kaget dengan daerahnya. What? Saluran airnya tersumbat! Warnanya itu loh…menjijikkan! Tapi, manusia punya batas toleransi terhadap lingkungan sekitarnya. Tubuh akan menyesuaikan diri dengan lingkungan. Buktinya, dengan sanitasi yang seburuk itu, rasanya belum pernah ada wabah penyakit mematikan di daerah itu kan?
Hidup itu Pilihan
Hidup itu pilihan. Setiap pilihan punya konsekuensi. Setiap konsekuensi butuh adaptasi. Itu sudah hukum alam. Buat saya, masalah bukan terletak di Jakarta atau di kota yang lebih kecil. Menurut saya, permasalahan terletak pada diri sendiri, siapkah menerima konsekuensi dan beradaptasi dengan lingkungan? Jika tidak, silahkan pulang dan berkaryalah dengan hati yang tenang. Sekali lagi, hidup itu pilihan.
*didedikasikan untuk orang- orang yang membenci Jakarta*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar